Sumber : Nicola Nasser
Lebih dari dua setengah tahun, netralitas Israel diakui dalam konflik Suriah, sementara Amerika Serikat dengan retorika yang digembar-gemborkan mendesak "perubahan rezim" di Damaskus, namun tiba-tiba terhenti sebelum terlaksana dan membuka selubung, ternyata faktor Israel telah ada di sepanjang konflik yang merupakan perhatian dari kedua negara.
Semua media dan fokus politik mereka terhadap "demokrasi vs kediktatoran" serta intervensi masyarakat internasional atas dasar "tanggung jawab untuk melindungi – “responsibility to protect" untuk
mencegah memburuknya "krisis kemanusiaan" di Suriah, sebenarnya
hanyalah fokus yang dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian terhadap
pendapat publik dunia yang jauh dari tujuan mereka sebenarnya, yaitu
untuk menjaga keamanan Israel.
"Rencana
A" mereka adalah untuk memaksakan perubahan rezim di Suriah sebagai
"hadiah besar" mereka dan menggantinya dengan rezim lain yang kurang
mengancam, dan lebih bersedia untuk mencapai "perjanjian damai" dengan
Israel, dan ketika gagal seperti apa yang terjadi dalam perkembangan
saat ini, kemudian "Rencana B" mereka mengejar "hadiah kecil" dengan
melucuti senjata kimia dan senjata biologi pemusnah massal Suriah, dalam
rangka menghilangkan ancaman terhadap gudang besar nuklir Israel
sebagai pencegahan defensif strategis, "Rencana A" mereka terbukti
gagal, tapi "Rencana B" mereka berhasil.
Namun,
faktanya bahwa krisis kemanusiaan Suriah terus berlanjut dengan hebat,
pertempuran tidak berhenti, sementara Amerika Serikat secara bertahap
datang untuk berdamai dengan sekutu utama Suriah, Rusia dan Iran,
sebagai awal untuk mengakui "legitimasi" dari status quo di
Suriah, sebagai fakta bahwa walau ditutup-tutupi tetap saja kredibilitas
keterlibatan Amerika Serikat jelas di dalam konflik.
Presiden
Barak Obama, menyampaikan pesan kepada Majelis Umum PBB pada 24
September lalu, dengan pembenaran seperti ini : "Mari kita ingat bahwa
ini bukan usaha zero-sum (menunjukkan unsur teori permainan di
mana jumlah yang hilang selalu sama dengan jumlah yang dicapai). Kita
tidak lagi berada dalam Perang Dingin. Tidak ada permainan yang bagus
untuk dimenangkan, juga Amerika tidak memiliki kepentingan di Suriah
melampaui kesejahteraan rakyatnya, stabilitas negara tetangga,
penghapusan senjata kimia, dan memastikan bahwa negara itu tidak
menjadi safe haven (daerah dekat zona tempur yang dipertahankan
sebagai bebas dari serangan) teroris. Saya menyambut pengaruh semua
bangsa yang dapat membantu mewujudkan resolusi damai."
Perubahan
dan pergeseran arah kebijakan politik Amerika Serikat menghilangkan
keraguan yang tersisa bahwa Amerika Serikat pernah peduli tentang
orang-orang Suriah dan apa yang disebut Obama sebagai "kesejahteraan"
mereka.
Amerika
Serikat mengumumkan komitmen "solusi politik" melalui co-sponsor dengan
Rusia dengan menyelenggaraan konferensi "Geneva-2", dikompromikan
dengan ketidakmampuan untuk mempersatukan, bahkan terhadap "oposisi"
yang diciptakan dan disponsori oleh Amerika Serikat sendiri, dan "Teman
Suriah" mengendalikan serta menggiring, terus memicu konflik bersenjata
dengan pasokan senjata, uang dan logistik dari wilayah Turki dan
negara-negara Teluk sekutu Arab, yang mengacaukan setiap solusi politik
dan menjadikan penyelenggaraan konferensi "Geneva - 2" dipertanyakan
setiap orang.
"Hukuman" Israel
Sementara itu, netralitas Israel sendiri telah dibatalkan oleh Presiden Shimon Peres.
Berbicara
pada peringatan ke-40 atas tewasnya sekitar tiga ribu tentara Israel
dalam perang 1973 dengan Suriah dan Mesir, Peres mengyatakan bahwa tak
terbantahkan lagi negaranya yang menjadi penerima manfaat utama dari
konflik Suriah.
Peres
mengatakan : "Hari ini" Presiden Suriah Basher al - Assad "dihukum
karena penolakannya untuk berkompromi" dengan Israel dan "rakyat Suriah
membayarnya untuk itu."
Ketika
perkembangan terbaru terlihat semakin jelas bahwa tidak akan ada
"perubahan rezim" di Suriah, juga tidak akan ada "Day After" setelah –
Assad, dan bahwa penjamin utama kelangsungan hidup Israel yaitu Amerika
Serikat telah dibuat, atau akan dibuat, "perubahan-U-turn" dalam
kebijakan vis-à-vis konflik Suriah untuk mengecualikan solusi militer
"tidak dapat diterima," dalam kata-kata Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat, John Kerry pada 6 Oktober ini, Israel tidak sabar dan tidak
bisa menyembunyikan lagi faktor Israel dalam konflik.
Pada 17 September lalu, berita utama laporan mereka berjudul, "Dalam mengubah publik, Israel menyerukan jatuhnya Assad," mengutip
sebuah laporan yang diterbitkan oleh harian Israel, Jerusalem Post,
yang mengutip Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat, Michael Oren,
mengatakan : "Kami selalu ingin Bashar Assad untuk pergi, kami lebih
suka memilih orang-orang jahat yang tidak didukung oleh Iran daripada
orang-orang jahat yang didukung oleh Iran."
"Bahaya
terbesar bagi Israel adalah strategi busur yang membentang dari
Teheran–Damaskus-Beirut. Dan kami melihat rezim Assad sebagai kunci dari
busur itu, "tambah Oren.
Dan
itulah sesungguhnya inti dari konflik di Suriah : Dalam membongkar
strategi "busur" telah di lakukan selama terjadinya konflik melalui
strategi yang diumumkan Amerika Serikat dan dipimpinnya dengan apa yang
disebut sebagai "Friends of Suriah," yang juga adalah teman Israel.
Tujuan
dari strategi ini dalam seluruh konflik adalah untuk mengubah rezim,
apa yang disebut Oren Suriah sebagai "keystone dari busur itu," yang
didukung oleh pemerintah pro - Iran di Irak maupun oleh gerakan
pembebasan Palestina yang menolak, wilayah Palestina lebih dari enam
dekade dalam pendudukan militer Israel, atau menguras sumber daya
Suriah, infrastruktur dan kekuasaan hingga ia tidak memiliki pilihan
lain, kecuali memilih untuk menurut tanpa syarat, namun dengan syarat-
syarat Israel dan kondisi apa yang disebut oleh Peres sebagai "kompromi"
dengan Israel sebagai prasyarat untuk dikembalikannya wilayah Suriah
yang diduduki Israel, yaitu Dataran Tinggi Golan.
Syria the Odd Number
Tujuan strategis ini adalah smoke-screened (Suatu
tindakan atau pernyataan yang digunakan untuk menyembunyikan rencana
aktual atau niat sebenarnya) dengan menggambarkan konflik pertama-tama
sebagai salah satu pemberontakan rakyat, kemudian berubah menjadi
pemberontakan bersenjata melawan kediktatoran sebagai sektarian "perang
sipil," ketiga sebagai perang tanding proxy Arab-Iran,
Sunni-Syiah yang dipisahkan sejarah, keempat sebagai wilayah pertempuran
dari pertentangan regional dan geopolitik internasional, namun faktor
Israel merupakan inti dari seluruh konflik.
Kalau tidak kenapa "Friends of Suriah and Israel" yang
dipimpin Amerika Serikat peduli terhadap rezim yang berkuasa di negara
yang tidak melimpah hasil minyak dan gasnya, yang berulang kali
diucapkan sebagai "free" flow kepentingan "vital" Amerika
Serikat, atau apa yang Obama sampaikan dalam pidatonya di PBB disebutnya
sebagai negara "kepentingan inti," keamanan Israel merupakan sesuatu
yang "vital" lainnya atau "inti", yang dalam kata-katanya, "Amerika
Serikat siap untuk menggunakan semua elemen kekuatan, termasuk kekuatan
militer untuk mengamankan."
Berakhirnya
Perang Dingin membuka "jendela kesempatan" untuk membuat perjanjian
perdamaian Mesir-Israel, menurut sebuah studi oleh Universitas Oslo pada
tahun 1997. Sebuah perjanjian damai telah ditandatangani antara
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dengan negara Yahudi pada tahun
1993, diikuti oleh perjanjian perdamaian Israel-Yordania pada tahun yang
sama. Selama invasi ke Lebanon pada tahun 1982, Israel gagal mencoba
untuk memaksakan kepada Libanon perjanjian serupa, tapi sejak saat itu
tidak ada "pengaruh" Suriah, karena digagalkan dan tercegah setiap ada
perkembangan seperti itu.
Suriah
tetap terasing dalam perdamaian Arab - membuat lajur sekitar Israel,
tidak ada perdamaian komprehensif yang dimungkinkan tanpa Suriah,
Damaskus memegang kuncinya, bahkan untuk kelangsungan hidup Palestina,
Yordania dan Mesir melakukan perjanjian damai dengan Israel. Suriah
tidak akan menyerahkan kunci ini tanpa penarikan mundur Pasukan
Pendudukan Israel (IOF-Israeli Occupation Forces) dari wilayah Suriah
dan Arab lainnya dan penyelesaian maslah Palestina dengan "adil.”
Ini telah menjadi strategi nasional Suriah jauh sebelum partai Baath Pan - Arab dan dinasti al-Assad berkuasa.
Oleh
karena itu, "Rencana A" Amerika Serikat dan Israel akan tetap agendanya
terhadap kedua negara, menanti suasana geopolitik yang lebih terbuka.
Nicola Nasser adalah seorang jurnalis veteran Arab yang tinggal di Birzeit, Tepi Barat wilayah Palestina yang diduduki Israel.
Diterjemahkan oleh: Sukana Hasyasyins
Posting Komentar